Bismillah...
Aku tidak tahu tepatnya kapan, orang-orang terdekatku mulai ketularan wabah
demam akik. Mulai dari tetangga, paman, sepupu hingga keponakanku, satu persatu
dari mereka terlihat mulai mengenakan akik di jari masing—masing. -_-
Adikku tak ketinggalan. Suatu hari sepulang dari naik gunung, dia membawa sebongkah
batu akik yang masih belum dibentuk. Tapi sampai sekarang, entah kenapa batuan
itu belum juga dibawa ke tukang. Sepertinya adikku memang tidak terlalu ikut
keranjingan tren akik.
Salah satu keponakanku yang masih kelas satu sekolah dasar, sebut saja
namanya Hafidz, ternyata tidak ketinggalan terkena imbas tren akik.
“Weh, apa ini Le? Akik? Wakakaka, kog disumpal segala?” tanyaku ketika dia terlihat asyik memegangi jari-jarinya.
Akik itu tersemat disebuah cincin yang ternyata kebesaran. Dan apa yang
keponakanku tadi lakukan untuk menyiasati jarinya yang kecil? Cincin akik tadi
disumpal dengan kerikil lalu dibungkus menyatu bersama lingkaran cincin dengan
sebuah plester penutup luka. Kreatif juga nih anak.
Kenapa si Hafidz terkena demam akik juga ya? Pengaruh teman sebaya? Ah,
masa’ anak-anak SD juga sudah terjangkit wabah akik? Pengaruh media? Nggak lah.
Seingatku, di rumah budhe memang
sengaja ga ada televisi. Pengaruh orang tua? Ah, masa’ kakak sepupuku pakai
akik? Buat apa?
Waktu ketemu sama kakak sepupuku di rumahnya, dia juga nggak terlihat
memakai akik tuh. Istrinya juga nggak pakai akik. Lha?
*****