Halaman

Selasa, 12 November 2013

Selingkuh?! Lagi ngetrend ya?


“Hatiku yang resah, takkan bisa tenang
Sebelum kudengar, indah suaramu
Tak sabar hatiku, ingin menelfonmu
Tapi aku, wedi karo bojomu..

Salahkah diriku, bila merindukanmu
Sedang kau disana, juga merindukanku
Walaupun kutahu, kau ada yang memiliki
Tapi cintaku, tetaplah untukmu..

Pengenku sms-an, wedi karo bojomu
Pengen telfon telfonan, wedi karo bojomu
Pengenku ngomong sayang, wedi karo bojomu
Sakjane kangen iki, rakeno dilereni
Nanging aku wedi...

Lirik lagu di atas itulah yang akhir-akhir ini selalu melintas di otakku, semenjak aku mendengarkannya dinyanyikan oleh para pengamen, di dalam bus. Nada serta liriknya sangat mudah untuk diingat. Sayangnya, makna dari lirik di atas terlalu mengandung konotasi negatif. Menurutku, lirik tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa selingkuh itu sudah menjadi hal yang lumrah, tidak tabu lagi, dan bahkan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat ini.


Lagu, sama seperti halnya produk-produk media massa lainnya, bisa memberikan pengaruh kepada masyarakat. Sedangkan produk media massa sendiri, biasanya juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat. Singkatnya begini: sebuah produk media massa, konon merefleksikan kehidupan dan budaya masyarakat tempatnya berada. Namun, ada juga yang beranggapan bahwa media massa-lah, yang telah membentuk budaya massa.

Melihat contoh lirik lagu di atas, budaya selingkuh terlihat seakan telah menjadi topik umum bagi masyarakat Indonesia. Fenomena perselingkuhan yang mulai umum terjadi ini, kemudian dituangkan ke dalam sebuah lagu. Tapi, kalau dilihat dari segi ‘media yang memberikan pengaruh,’ pihak media-lah yang terkesan memberikan kontribusi paling besar, dalam menciptakan trend perselingkuhan.

Yang menjadi pertanyaanku adalah, sebenarnya pihak mana sih, yang punya pengaruh paling besar? Media ataukah masyarakatnya? Wah, kalau ngomogin masalah ini, sepertinya perlu membaca banyak referensi. Duh, malesku mendadak kambuh. Tapi seingatku sih, hasil yang diperoleh dari berbagai penelitian mengenai efek media, cukup beragam. Dari segi penelitian yang pernah dilakukan, kedua belah pihak memang saling mempengaruhi satu sama lain. Media butuh rating, sedangkan masyarakatlah yang menciptakan rating.

Acara yang rating-nya tinggi, tentu saja akan ditayangkan secara terus menerus. Dan apapun yang ada di dalam acara tersebut, secara tidak langsung akan mempengaruhi kebiasaan penontonnya. Misalnya saja, dalam suatu acara sinetron yang rating-nya tinggi tadi, diceritakan bahwa salah satu atau beberapa orang tokohnya selingkuh. Nah, karena ‘perselingkuhan’ ini ditayangkan setiap hari, dan ditonton setiap hari pula, maka penontonnya lama kelamaan akan menganggap bahwa selingkuh itu merupakan hal yang lumrah. Tambah lagi, acara infotainment yang cuma menyorot berita seputar artis, dan ndelalah-nya si artis juga ketahuan selingkuh, trus diekspos oleh media. Yuuuhuuu, masyarakat awam pun akan mulai menganggap bahwa selingkuh sedang menjadi trend masa kini.

Oke, kita tidak bisa menyalahkan pihak media saja. Yang menentukan tinggi rendahnya rating suatu acara kan, masyarakat juga. Ya tha? Rating acara bisa tinggi, karena acara tersebut memang banyak penontonnya. Lha, si penonton sendiri kog ya mau-maunya nonton acara begituan? Apakah karena mereka mengalami kondisi katharsis, menyamakan nasib mereka dengan para tokoh yang ada di sinetron, trus jadi ketagihan nonton sinetron? Ataukah karena masyarakat Indonesia sudah mulai tumbuh menjadi masyarakat yang lebay, sehingga menyukai tontonan yang lebay pula?

Jadi, yang paling punya pengaruh itu sebenarnya siapa sih? Aku jadi bingung. Meminjam istilah seniorku mengenai siapa yang mempengaruhi siapa (media atau khalayak kah yang paling berpengaruh), menentukan jawabannya tuh ibarat menjawab pertanyaan “ayam dulu atau telor dulu?” Kalo menurutku sih, semuanya tergantung dari sisi mana kita melihatnya, syalalalala... *mulai stress*

Betewe, aku jadi teringat obrolanku dengan Eno di facebook, mengenai tema yang kebanyakan diangkat oleh sinetron Indonesia. Aku sih jarang nonton TV, jadinya nggak bisa segeregetan Eno. Dia bilang bahwa sinetron-sinetron ini, isinya secara nggak langsung memberikan pesan dan kesan bahwa selingkuh itu biasa, hamil di luar nikah itu hal yang wajar, kawin cerai itu biasa saja, dan sebagainya dan sebagainya. Eno curiga, seandainya berbagai sinetron tersebut mengandung subliminal message. Kalau menurutku sih, itu bukan subliminal message. Tapi malah masuk ranah propaganda. 

sinetron oh sinetron
jadi wanita panggilan :v

Apa iyasih, kalau yang kami omongin di (gambar) atas tuh beneran propaganda? Lagian, bukankah kebanyakan sinetron di Indonesia pada kejar tayang ya? Bukankah kalo kejar tayang, waktu editing jadi sedikit? Kalo waktu editing sedikit, mana sempat buat nyusupin subliminal message ataupun subliminal stimuli, ya nggak sih? Au ah gelap.

Sebenarnya, terpaan media macam apapun, akan bisa diminimalisir efeknya kalo kita punya media literasi. Sayangnya, belum semua masyarakat Indonesia melek media. Mereka-mereka yang belum punya literasi memadai mengenai konten media inilah, yang mudah terombang-ambing dalam berbagai arus kepentingan yang diusung oleh media.

Hal yang paling menggemaskan dari media sekarang ini, kalo ada kasus ‘nggak penting,’ seringnya malah diekspos habis-habisan. Seolah-olah media dengan sengaja mengekspos kasus tersebut, untuk menutupi isu-isu lain yang lebih penting. Yang lebih lucunya lagi, masyarakat malah senang dengan kasus-kasus ‘nggak penting’ ini. Apakah masyarakat Indonesia sudah terlalu hedonis, sehingga mereka lebih memilih menonton sinetron berbau perselingkuhan daripada menoton acara motivasi?

Uh, tulisan ini malah jadi melebar kemana-mana, nggak fokus, melompat-lompat seperti cara pikir penulisnya. Payah. Sebelum melompat ke topik yang lain lagi, mendingan kuakhiri sampai di sini. Intinya, kalau kamu ingin mengubah tayangan di Indonesia tercinta ini, caranya bukan dengan serta merta membuat TV nasional tandingan, yang mengkhususkan diri menyiarkan segala hal yang ‘benar-benar bermanfaat’.

Tayangan penggugah jiwa sekeren apapun, kalo masyarakatnya memang belum pengen untuk ‘dibangunkan’ pasti nggak bakalan laku deh. Jadi, cara membangunkan dan mengubah masyarakat ini bagaimana ya? Ubahlah dirimu sendiri dulu, karena kamu nggak akan bisa mengubah apapun, selama kamu belum bisa mengubah dirimu sendiri. Bisa?

Akhir kata, selektiflah dalam memilih hiburan dan informasi, have a nice day and bye. Oia one more thing, CMIIW pleaseeeee....


Keterangan:
wedi karo bojomu: takut sama istri/suami mu
Sakjane kangen iki, rakeno dilereni: aslinya rasa rindu ini, tak bisa dihentikan
Nanging aku wedi.. : tapi aku takut...
subliminal message: pesan yang hanya bisa ditangkap oleh alam bawah sadar
subliminal stimuli: rangsangan yang hanya akan diterima oleh alam bawah sadar, bisanya digunakan untuk ‘memanggil’ memori tertentu yang ada di otak manusia.

18 komentar:

  1. Balasan
    1. lah, apanya yang 'nah loh' bro?
      kog mendadak, saya jadi merasa dituduh sebagai pelaku selingkuh sih
      :v :v :v
      ahahaha... *tepok jidat dah*
      XD

      Hapus
    2. nah lho itu pertanyaan yang bisa bikin drop lho mbakyu :D hahahah

      Hapus
    3. lha iya, trus kenapa 'nah lho'?
      *gagalpaham*
      (@.@")

      Hapus
  2. Balasan
    1. astaganaga... e.e
      nope dah sob, wkwk:
      1. apa yg mo diselingkuhin
      2. cheating... it hurts everyone

      ada nemu quote bagus nih:
      "if you succeed in cheating someone, don't think that person is a fool... Realize that the person trusted you much, more than you deserved..."

      Hapus
  3. nyerah \^o^/
    *lambaikan tangan ke kamera*

    BalasHapus
    Balasan
    1. *mendadak kameranya eror, trus yang kerekam cuma gambar sebelum melambaikan tangan*
      ...yang artinya, Siamang belum boleh nyerah...
      wkwkwkwkwk
      XD

      btw, ngomongin apasih ini?

      Hapus
  4. Itulah kalau stasiun TV Indonesia hanya mencari duit saja. Cari duit sih boleh2 aja, tapi kualitas harus tetap dikedepankan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. lha, kalo masyarakatnya sendiri juga seneng nonton acara yg begituan, gimana bang?
      @,@

      Hapus
  5. Yg lagi ngetrend mungkin lagunya, En! Lagu itu kan ciptaan dari sebuah Orkes lokal. Kayak lagu "layang sworo", "masa lalu" dsb. Kemudian dibawain ama para biduan panggung, trus direkam, dijual berupa vcd, trus dinyanyiin ama pengamen.

    Gue kira itu sih cuma masalah keunikan lirik. Entah kalo mereka nyiptain lirik dg ngeliat pengalaman sekitar. Tapi menurut mereka (kebetulan di tempat gue juga ada grup orkes) semakin unik dan aneh lirik dibikin, itu makin diinget orang. Contoh laen lagu "telat 3 bulan" atau "buka sitik jos". Trus gmn para komposer kampung meracik genre koplo dan goyangan si Biduan itu juga jadi faktor utama.

    Kemungkinan laen, karna adanya pengalaman di dunia nyata kayak yg gue saring dari tulisan elo di atas. Mungkin emang lagi trend, tapi cuma di lingkup kalangan pelaku dan penikmatnya.

    ^_^

    *buka sitik joss!

    BalasHapus
    Balasan
    1. trus trus trus, kalo yg lagi ngetrend (cuma) lagunya, kenapa temenku ada yg ngeluh masalah sinetron yg temanya hampir serupa? Padahal kan, sinetron menjangkau banyak masyarakat di Indonesia, apakah itu membuktikan bahwa fenomena 'selingkuh' sudah menjadi trend nasional? piye jal?
      eh, kalimat 'buka sithik joss' itu, juga nyampe di Kendal juga tha? kupikir adanya di daerahku saja...
      ahahahahaha...
      XD

      Hapus
  6. Sepakat, En. Kebanyakan memang filem Indonesia kurang memperhatikan isi cerita dalam sudut pandang nilai-nilai, lebih mementingkan narasi. Apapun itu, yang jelas narasinya bakalan disimak oleh penonton, pasti dibikin, ditayangkan. Gila...

    Aku makin sadar sejak sebuah kejadian yang ... pada waktu itu media benar-benar sok tahu dalam bercerita, yang pada akhirnya membentuk opini yang salah pada masyarakat. Media memang ahli ya membentuk opini... Untuk postingan kamu ini temanya hanya selingkuh, coba deh tema yang lain: korupsi, konspirasi, dll. Pasti sama jalan ceritanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. pssttt aku kasih tahu sebuah rahasia umum ya... sebenarnya, rating yang didapat oleh lembaga peneliti rating tuh, berasal dari objek yang kurang valid. Misal, gegara penghuni rumah pada sibuk kerja -pergi pagi pulang malem- dan yg ada di rumah cuma PRT-nya saja. Jadi, yg nonton tuh TV, kebanyakan ya PRT ini. Karena PRT ini sukanya nyetel TV sambil melakukan aktifitas2 lain, kayak nyeterika, ngepel dsb, yang dia butuhkan adalah tontonan dg narasi yg aduhai gitu. So, jangan heran, kalo tayangan yg aduhai2 inilah, yg mendominasi rating tinggi, *ini kata dosen adver gue dulu*

      Emang, kamu pernah ngalamin kejadian apa bro?
      media memang ahli dalam membentuk opini, khususnya jika yg kena terpaan media nggak ngeh sama media literasi. :(
      Ane ngambil tema selingkuh karena tema lainnya udah banyak dibahas diblog lain. Tema selingkuh sepertinya lebih merakyat daripada tema2 korupsi, konspirasi, dll *padahal, aslinya takut mbahas masalah begonoan* :v

      Hapus
    2. Bukan aku, tapi sejawatku.

      Hapus
    3. yang kamu ceritain di postinganmu itu ya? ntar gw baca lagi.
      kemaren aku bacanya secepat kilat euy
      XD

      Hapus
    4. Kecepatan kilat memangnya berapa? LOL

      Hapus
    5. 50.000 km/detik
      kata mbah Gugel sih
      XD

      Hapus

Komentarmu tak moderasi, artinya ya aku baca dengan seksama, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Komentarmu = Representasi dirimu.
Ojo saru-saru lan ojo seru-seru. Ok dab?