Bulan Oktober (tahun) lalu mbakku-sepupu satu buyut denganku (sebut saja namanya mbak Anu) menikah dengan teman pramukaku jaman SMP, sebut saja namanya si Ini. Hampir semua teman SMP, yang rumahnya satu dusun denganku dapat undangan, kecuali aku! Masa’ si MKS-tetanggaku- yang statusnya hanya mantan teman SMP saja dikasih undangan, sedangkan aku yang notabene adalah saudaranya sendiri, malah nggak dikasih?! Aku kan jadi sebal dan su'udzon!
Singkat cerita, H-1 acara resepsi, mbak Anu kepengin tangannya digambari pakai henna. Nah akulah yang didapuk sebagai seksi corat-coret. Meski aku sudah diundang secara langsung jadi seksi corat-coret, tapi rasanya seperti kurang afdhol kalau nggak dapat undangan berwujud kartu. Alhasil, pas lagi nggambarin tangannya mbak Anu, aku langsung protes menanyakan perihal kenapa aku tidak dikasih undangan. Dan ternyata, aslinya tuh aku juga dikasih undangan. Undangannya dikumpulin jadi satu sama undangannya MKS dan teman-teman lainnya. Lhah? Kalau begitu, undanganku nyelip di mana ya?!
"Kalau gitu, pinjam undangannya satu donk, pengen lihat..." kataku.
"Untung masih sisa satu, nih!" jawab mbak Anu sambil menyodorkan undangan walimahannya.
Jika umumnya dalam undangan walimahan, nama mempelai ditulis lengkap beserta gelar akademisnya, di undangan mbakku nggak gitu. Kata mbakku sepupu, tradisi kantor calon suaminya juga tidak menyertakan gelar pada undangan yang dibagikan. “Biar nggak riya”, katanya...
Wow... Ini langka, man! Anti mainstream. Biasanya gelar akademik itu sengaja dijadikan ajang pamer lho. Mau bukti? Simak terus. :p
****