“Gimana Say,
lanjutan rewritean kemaren? udah jadi?”
“Udah donk. Mau
diteruskan dibacainnya?”
“Iyaa lah.
Nanggung amat. Kemaren juga udah ditulisin bersambung kan? Kalo nggak diterusin
gimanaaa getoo. Kayak cerita Rifa, ditulisin bersambung, tapi nggak ada
sambungannya.”
“Wekekeke. Rancu
bin wagu ya? Itu karena Rifa sedang bingung Cint. Jadi nggak aku terusin deh
cerita dia. Baiklah, ku mulai baca lagi ya. Dengarkan baik-baik.”
“Oke sippp.”
“Di zaman dimana
konglomerasi media sudah menjadi budaya, berbagai pihak yang mempunyai
kekuasaan tertarik untuk melakukan monopoli media. Para korporat ini
mungkin tertarik oleh thesis yang dikemukakan oleh Toffler kali ya?”
“Emang thesis
Tofler apaan?”
“Sorry Cint, aku belum
baca Third Wave versi asli. Nih aku comotin dari tulisannya Muhammadun
AS: ‘Siapa yang memegang akses informasi, maka dialah yang akan berkuasa
dan menentukan arah perjalanan umat manusia[1].’
Melalui media, para penguasa akan mudah membujuk khalayak, agar sejalan dengan
pemikiran mereka. Karena bujukannya bersifat halus dan berulang-ulang, pada
akhirnya, khalayak akan mengikuti bujukan para korporat tersebut deh. Dengan
suka rela lagi! Jadi, waspadalah... waspadalah...”
“Tapi Say, kenapa
harus melalui media massa?”
“Karena mungkin
sumber kekuatan yang paling mendasar di dalam masyarakat kita adalah media. Hall
menyatakan bahwa media telah menjadi terlalu kuat dan berkuasa.[2]
Media massa diyakini mempunyai kekuatan yang maha daya cinta, eh maha dahsyat
dink, untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan media massa
mampu mengarahkan, membimbing, dan mempengaruhi kehidupan di masa kini dan masa
mendatang.”
“Ah, aku nggak percaya kalo media sebegitu
hebatnya. Emangnya udah pernah ada penelitian tentang efek media?”
“Sudah donk! Sudah
banyak pula! Teori komunikasi menjelaskan bahwa media massa memang memiliki efek
media terhadap individu, kelompok, maupun terhadap kehidupan sosial secara
umum. Efek media itu dapat dilihat dari dua sisi: efek jangka panjang dan efek
jangka pendek.”
“Emang, efek
jangka pendeknya apa? Efek jangka panjangnya apa?”
“Hash, sabar
napa?! Dalam jangka pendek dan skala mikro, efek media menjadi faktor
stimulus, serta akan mendapat respons masyarakat. Mungkin juga mendapat
perlawanan dari masyarakat tersebut. Nah untuk jangka panjang, efek media akan diadopsi
dan terdifusi dalam kehidupan sosial sebagai suatu inovasi.[3]”
“Lha, kog bisa
ya?” tanya Ha.
“Tentu saja donk
Cint. Keadaan semacam tadi, bisa saja terjadi karena adanya pengulangan
pesan yang sama. Hal itu pulalah yang mengakibatkan mengapa media massa
mempunyai efek kuat pada diri komunikannya (khalayak yang terpapar media
-kamsudnya), sebab media massa melakukan berbagai pengulangan pada program
acara atau iklan yang disiarkan.”
“Pandangan tentang
efek luar biasa yang diberikan oleh media kepada khalayaknya ini, setidaknya
bukan hanya diyakini oleh orang-orang media. Bahkan mereka yang awam terhadap
teori komunikasi pun, sepertinya mengamini kepercayaan bahwa media memang
mempunyai pengaruh yang signifikan.” Lanjut En.
“Kepala gue pusing
Say. Bisa langsung ke contoh?” pinta Ha.
“Udah pernah
nonton film James Bond yang berjudul Tomorrow Never Dies?”
“Ada apa dengan
film itu?”
“Berbeda dengan
film James Bond sebelumnya, dalam film ini si jahat berupaya menguasai
dunia bukan dengan menggunakan kekerasan, melainkan dengan menguasai media
komunikasi massa. Pesan transparan yang diberikan oleh film ini, bahwa kita
hidup dalam dunia yang semakin terancam oleh pihak-pihak pengendali ‘kekuasaan
media’, yaitu mereka yang menguasai jaringan televisi, studio produksi film,
dan media komputer.[4]”
“Dalam setiap budaya
populer, pasti terdapat variasi sudut pandang, ide dan pendapat kan?
Nah, penggabungan media, bagaimanapun telah menciptakan sebuah standarisasi industri
budaya. Pernah bertanya, kenapa semua lagu produksi industri musik sekarang ini,
temanya hampir sama? Kenapa semua film kayak punya tema yang serupa?” Lanjut si
En.
“Iya juga ya.
Emangnya kenapa? Kenapa tema-tema lagu, tema-tema film, sinetron, berita,
hampir mirip satu sama lain? Kenapaaaaaaa??”
“Slow... slow...
woles aja Cint. Hehe. Kenapa hampir serupa? Mungkin salah satu jawabannya adalah: karena saat
ini sedang terjadi tren konglomerasi media.”
#@__@
“................?????” Ha masang tampang melas, butuh penjelasan.
“Idih, rupamu
nggak benget. Haha. Dengarkan. Tren ke arah konglomerasi melibatkan proses merger,
akuisisi dan pembelian saham yang mengonsolidasikan kepemilikan
media ke semakin sedikit perusahaan.[5]”
“Bentar dulu. Biar
kucerna. Jadi saat ini, para orang kaya lagi suka membeli saham media massa,
gitu?”
“Ya, semacam itulah.
Yang terakhir kali aku denger, Tumblr dibeli sama Yahoo!
deh keknya. Kuteruskan baca ya. Fenomena global konglomerasi media ini, didukung
oleh temuan penelitian yang dilakukan oleh Ben Bagdikian. Bagdikian memulai penelitiannya pada tahun 1980-an,
dimana saat itu dia menemukan bahwa tidak kurang dari 50
perusahaan raksasa menguasai jaringan industri media di Amerika. Beberapa
tahun kemudian, dia melakukan penelitian serupa dan hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan
media turun hingga setengahnya!” Cerocos si En.
Media Connection (sumber: Iluminati Card Game) |
“Penelitian
terakhir yang dilakukan oleh Bagdikian tentang perkembangan industri dan
kepemilikan media di Amerika Serikat pada tahun 1997, menunjukkan bahwa hanya
terdapat lima grup media yang menguasai 60 persen dari seluruh media di
Amerika. Liberalisasi media massa yang tidak terkendali dan masuk pada
sinerginitas dengan pasar bebas mengakibatkan terciptanya pemusatan kepemilikan
media, hanya pada segelintir kelompok tertentu yang menguasai modal. Karena
itu, dapat dipastikan pemberitaan media menjadi seragam karena tidak
mampu keluar dari bayang-bayang pemilik.[6]”
lanjutnya.
“Itu baru yang ada
di Amerika. Kasih contoh buat yang di Indonessia dunks.” Pinta Ha.
“Hhhh, yang ada di
Indonesia? Bentar ya. Aku donlot pdf-nya Professor Merlyna Lim dulu....”
...jadi,
akhirnya....
-Bersambung
lagi deh, hahahaha-
[2] Richard West & Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi. Edisi ketiga. Buku 2, (Jakarta: Salemba Humanika, 2008).
[3] Burhan Bungin, Erotika Media Massa,
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001).
[4] Marcel Danesi, Pengantar Memahami
Semiotika Media, terjemah Gunawan Admiranto, (Yogyakarta: Jalasutra,2010).
[5] John Vivian.
[6] Dedy Kurnia Syahputra, Media dan Politik,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012).
Waw! Makin ribet ea... Hebat ato nggaknya media itu tergantung kita manusianya... Yg jelas media emang hebat, karna kita adalah manusia hebat! Hehehe
BalasHapus:v
Hapusego beberapa orang manusia memang tinggi
pertamax kagak nih?? hehehe... banyak nian kutipannya, udh kyk skripsweet aja *eh
BalasHapusbtw, cerita Rifa (jadi senyum sendiri), ane juga nungguin euy... :D
Premium Cint, dapet keduaX. hehehehe.
Hapusiyatuh, kebanyakan kutipan ya? @__@"
Cerita Rifa keknya yang nungguin banyak deh. Haha, doakan semoga next partnya bisa happy ending eaa Cint.
Aamiin.
Nanti kalo happy ending, mari kita tagih Rifa buat makan-makan! huehehehehhehe.
Semoga para penikmat media itu tidak mudah disetir atau dikendalikan sama media itu sendiri....
BalasHapusditunggu kelanjutannya yaaa....
Aamiin... tapi bang Sam, kebanyakan yg suka nonton TV kan rakyat menengah ke bawah, ato anak-anak hingga remaja bang. Mereka nggak punya alternatif hiburan lain. Dan biasanya media literasi mereka rendah. Jadi, kemungkinan mereka tersetir oleh media, masih besar donk bang. TT__TT
HapusIklan Subsidi BBM pun udah pada disosialisasikan di media2, kalo dilihat sekilas, iklan tadi sangat menggiurkan. Tapi kalo dipikir lagi, apakah nggak akan menimbulkan masalah baru? TT_TT
Maaf, jadi meracau. Saya benar2 sedang galau. TT__TT
baca yang ini jadi inget sama PKI jaman dulu, mereka juga pinter lho, makanya serangan awal mereka sebagai target pertama adalah menduduki RRI, bener gak gueh ???
BalasHapusthanks buat tambahannya oom, aku malah lupa sejarah Indonesia#payah
HapusT__T
itu sebabnya sekarang pengusaha pun berusaha membeli media massa
BalasHapuscontohnya Chairul Tanjung memiliki Trans Tv, Trans7 dan kabarnya membeli juga saham tvone
btw kalau pengusaha mengendalikan media, sedang dia bukan kader partai, lalu apa motifnya?
pak CT beli sahamnya TV One? Wow, baru denger. Thanks.
HapusMungkinkah motifnya: pencitraan yg baik buat anak cabang perusahaannya?
Di luar negeri bukannya gitu juga ya mas?
Hal-hal yang menyangkut keburukan mitra maupun pemilik perusahaan yang menguasai media, nggak akan pernah diliput. Biar citranya nggak tercoreng.
Atau, mungkin ada agenda yang lebih 'jauh', yang nggak bisa kita lihat sekarang. Biasanya, yang nggak instan kan, hasil yg dicapai juga lebih memuaskan. Tapi, entahlah. :(
Enha, you're rock!
BalasHapusAh, aku jadi mulai ketar-ketir baca pembahasan nan komplit tapi to be continued ini. Nice enha ^^
kak Maya... :v
HapusI'm galau, bukan ngerock. :v
kenapa ketar-ketir kak? Kelanjutan pembahasannya sepertinya nggak akan memuaskan. Karena moodku tiba-tiba hilang. TT__TT
Aku tak sekuat yang aku bayangkan. T__T
Payah, payah dan payah.
wah .. hrs mikir mikir dulu nih :)
BalasHapusSemakin dipikir semakin galau mbak Ely.
HapusTT__TT
jd hrs bgmn dong ? :D
Hapusgimana ya? Mungkin harusnya tak usah dipikir? hehehe...
Hapus*Menyimak*
BalasHapus*manggut-manggut*
HapusMana lanjutannya? Mana?
BalasHapusKemaren mood hilang, sungguh ironi jika melihat fakta ttg kehidupan di negeri ini. Tapi sekarang, lanjutannya udah ada donk. huhuhu.
Hapusbeberapa tulisa yng dibold itu serasa baca tulisan buat kontes... hahaha
BalasHapuskontes SEO ya bang? Waduh, ketahuan nih belangnya eike. hehe.
Hapus:3